Arah Vertikal Kiblat

Umat Islam menentukan arah Kiblat dengan menghitung arah menuju jarak terdekat ke Ka’bah di permukaan Bumi bulat. Arah kiblat bukanlah line-of-sight; yang diperhitungkan hanyalah arah horizontal (kiri-kanan), sedangkan arah vertikal (atas-bawah) tidak diperhitungkan.

Kaum Bumi datar menginterpretasikan arah kiblat sebagai line-of-sight. Lalu mereka menyalahgunakan hal tersebut sebagai “bukti” Bumi datar. Dalih yang mereka gunakan adalah jika Bumi bulat, maka tidak mungkin mengarah ke kiblat line-of-sight. Faktanya, prosedur ibadah shalat bukanlah “bukti” bentuk Bumi . Bentuk Bumi bulat diketahui melalui pengamatan alam terhadap Bumi itu sendiri, dan kemudian umat Islam menggunakan pengetahuan tersebut untuk menghitung arah Kiblat.

500 meter dari Ka’bah terdapat gedung Abraj Al Bait yang tinggi lantai teratasnya juga sekitar 500 meter. Jika kita menggunakan “logika” kaum Bumi datar, maka seharusnya shalat dilakukan dengan mengarah 45° ke bawah. Tetapi tak ada dalam prosedur pelaksanaan shalat untuk mengarah 45° ke bawah hanya karena Ka’bah mengarah 45° ke bawah. Orang-orang yang melakukan shalat di lantai teratas Abraj Al Bait tetap melakukan shalat dengan cara yang sama dengan orang-orang yang melakukan shalat di Masjidil Haram.

Demikian pula dengan daerah yang jauh dari Ka’bah. Dari seseorang yang melakukan shalat di Ambon, Maluku, arah vertikal ke Ka’bah  adalah 45° ke bawah akibat lengkungan Bumi. Tetapi karena tidak ada dalam prosedur pelaksanaan shalat untuk mengarah secara vertikal ke Ka’bah, orang di Ambon tetap melakukan shalat sama seperti di daerah lain.

Jika kaum Bumi datar bersikeras arah vertikal Kiblat harus diperhatikan, hal tersebut bukan masalah ilmu pengetahuan, tetapi sudah masuk masalah fiqih agama. Jika mereka menginginkan misalnya tata cara shalat direvisi agar orang di Abraj Al Bait dan Ambon melakukan shalat miring 45° ke bawah, mari kita persilakan saja mereka untuk mengusulkannya ke ahli agama.

Referensi