Analisis dari “Gerakan Nasional Menghitung Jarak Matahari”

“Gerakan Nasional Menghitung Jarak Matahari” adalah percobaan dari penganut Bumi datar di berbagai lokasi di dunia dalam rangka menghitung jarak ke Matahari. Berdasarkan analisis kami, dari data dan analisis yang kami kumpulkan, dapat disimpulkan bahwa tak ada keraguan bahwa Bumi bulat. Ini terlepas dari kesimpulan yang mereka kemukakan.

Berikut adalah intisari analisis kami dari beberapa hasil perhitungan gerakan ini yang dapat kami temukan di Internet. Kami akan perbaharui terus pos ini apabila ada perkembangan.

Perbandingan Sudut Pengamatan Dibandingkan Jarak oleh Prof Soegianto Soelistiono.

Pada akun Facebooknya, Prof Soegianto Soelistiono menghitung korelasi antara sudut pengamatan dibandingkan dengan jarak pengamat dari titik kulminasi. Dari grafik terlihat lurus dan linier. Dan dari hasilnya diimplikasikan bahwa ini bukti Bumi datar.

Betulkah respon linear tersebut adalah bukti Bumi datar? Mari kita cari hubungan antara jarak pengamat dan sudut pengamatan pada model Bumi datar secara analitik.

Ternyata hubungannya tidak linear. Kesimpulannya adalah linearitas antara jarak vs sudut hasil pengamatan tidak bisa menjadi bukti Bumi datar.

Sekarang mari kita lakukan perhitungan analitik yang sama, tetapi dilakukan pada model Bumi bulat.

Terlihat apabila Bumi bulat, maka korelasi antara sudut bayangan dan sudut pengamatan adalah linear. Bukan hanya linear, tetapi sama persis. Untuk itu mari kita plot fungsi tersebut pada grafik dari beliau.

Terlihat grafik lurus dan sangat konsisten dengan model Bumi bulat, terlepas dari apa kesimpulan beliau.

Catatan: Prof Soegianto menggunakan sudut berseberangan daripada perhitungan kami di atas. Jadi perlu diganti menjadi 90-β.

Perbandingan Jarak Pengamat vs Tinggi Matahari oleh Sdr. Rudi Rosidi.

Pada akun Facebooknya, Sdr. Rudi Rosidi mencoba melakukan perhitungan korelasi antara jarak pengamat vs tinggi Matahari hasil perhitungan pada model Bumi datar.

Fokus adalah pada grafik di kanan bawah. Sebenarnya ini adalah grafik mirip dengan yang pernah kami buat menggunakan data-data dari eratosthenes.eu (silakan baca Eratosthenes.eu: Menentukan Bentuk Bumi Dari Pengukuran Bayangan Matahari).

Lalu mengapa grafik dari Sdr Rudi Rosidi terlihat lurus? Jawabannya adalah karena beliau hanya menggunakan titik pengamatan paling jauh 3500 km, atau setara dengan 31°. Sedangkan data yang kami miliki jarak terjauhnya hampir 60°.

Apabila kami plot nilai sesuai perhitungan analitis pada grafik tersebut, maka hasilnya akan menjadi sebagai berikut:

Dari hasil plotting, ternyata grafik tersebut masih sesuai dengan ekspektasi yang terjadi apabila perhitungan jarak Matahari Bumi datar dilakukan pada permukaan Bumi bulat.

Apabila grafik tersebut diteruskan sampai ke jarak sekitar 10000 km, maka hasilnya akan seperti di bawah ini.

Sebenarnya, bukannya tidak ada data tersebut, hanya saja karena sesuatu hal yang tak kami ketahui, Sdr Rudi Rosidi memutuskan untuk menggunakan data yang lokasi pengamatannya dekat saja. Bukti bahwa mereka memiliki data pengukuran dari lokasi yang lebih jauh dapat dilihat pada grafik Prof Soegianto di atas. Terdapat data pengukuran pada sudut sekitar 52° atau setara dengan sekitar jarak 5750 km dari Pontianak.

Penulis telah meminta Sdr Rudi Rosidi untuk mengikutsertakan data-data yang sebelumnya tidak digunakan tersebut. Namun sampai saat ini permintaan penulis tidak dipenuhi.

Perhitungan Solar Parallax

Tulisan kami sebelumnya  “Mencari Jarak Matahari Melalui Pengukuran Panjang Bayangan. Mungkinkah?” dianggap ‘menyalahi aturan’, karena kami dianggap berangkat dari hasil pengukuran jarak Matahari di jaman modern untuk kemudian dicari cara mendapatkan angka tersebut dari pengukuran ini.

Sebenarnya hal tersebut sama sekali tidak benar. Yang kami lakukan hanyalah menghitung berapa resolusi pengukuran yang diperlukan untuk mendapatkan angka solar parallax.

Fakta bahwa perhitungan bayangan Matahari tidak memiliki cukup resolusi dan presisi bisa diketahui melalui cara yang lain.

Di-zoom supaya jelas:

Apabila ingin didapatkan perhitungan solar parallax, maka sudut hasil pengamatan + sudut pengamat dari Pontianak (α+γ) harus konsisten di atas 90°. Jika jumlah sudut tersebut di bawah 90°, maka akan ditemukan hasil ketinggian Matahari yang negatif.

Sebenarnya tidak masalah apabila perhitungan jarak matahari ini dipaksakan. Hasilnya akan terpaut jauh, dan bahkan bisa negatif. Hal ini disebabkan bukan karena ‘ada apa-apanya’, tetapi karena resolusi dan presisi dari metoda pengukuran tersebut tidak cukup tinggi untuk dapat mendapatkan solar parallax.

Hal ini bisa dianalogikan dengan misalnya menghitung berat cincin emas dengan menggunakan timbangan truk. Berapa kalipun percobaan dilakukan, tak akan bisa mendapatkan hasil yang diinginkan.

Angka solar parallax pada astronomi modern (dan tentunya juga jarak Bumi-Matahari) didapatkan melalui metode lain seperti Venus transit. Sedangkan stellar parallax (parallax pada bintang) yang ukurannya jauh lebih kecil dilakukan dengan cara membandingkan sebuah bintang relatif terhadap bintang yang lain.

Refraksi

Beberapa pihak, seperti misalnya oknum yang menamakan dirinya ‘dr zack’ mencoba menjelaskan hal ini melalui refraksi/pembiasan. Namun hal tersebut hanyalah satu lagi hipotesis yang dengan terburu-buru diciptakan untuk menutupi hasil pengamatan ini yang sepertinya cukup mengejutkan bagi mereka.

Hal ini dinamakan ad-hoc hypothesis, yaitu asumsi yang diciptakan untuk menyelamatkan sebuah teori. Sebenarnya tak ada masalah dengan ad-hoc hypothesis, namun kebenarannya harus diuji secara independen.

Teori Bumi datar membutuhkan sangat banyak ad-hoc hypotheses untuk menyelamatkan teori ini dari kehancuran. Refraksi dalam hal ini hanyalah salah satu dari sekian banyak ad-hoc hypothesis yang dapat kita temui pada kepercayaan Bumi datar.

Bagi kami, hasil yang didapatkan oleh penganut Bumi datar sama sekali tidak mengejutkan dan konsisten dengan fakta bahwa Bumi bulat.